Nama : Reza D Ardianto
NPM : 27213493
Kelas : 2EB15
UNIVERSITAS GUNADARMA
Tugas2
1. Hukum Perjanjian
A.
PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa
azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya
yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
- Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
- Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal
1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
- Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian
atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
- Tidak melaksanakan isi perjanjian.
- Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
- Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Pembayaran
Adalah
setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara
sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang
dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan
1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan
karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu
cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat
memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu
yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas
utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.
Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu
pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan
utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau
obyek dari perjanjian itu.
d.
Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu
cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga
antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
dengan lainnya.
e.
Percampuran utang
Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f.
Pembebasan utang
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.
Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika
barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.
Batal/Pembatalan
Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
i.
Berlakunya suatu syarat batal
Menurut
pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.
Lewat waktu
Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal
1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka
perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
C.
BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian
dapat berbentuk:
- Lisan
- Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
2. Konsensualisme
Konsensualisme
berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan
dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian
kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang
dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat”
tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan
mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan
lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah
pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak
telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa
yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain
atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul
adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya :
yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi
sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh
hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang
dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana
dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut
asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita
simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh
beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan
perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
Pengecualian
“Asas Konsensual”
Ada yang
dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian
“riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian
“perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis
(kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian
“pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya
barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang menurut pasal
1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk
perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi
disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata
(riil).
Sudah
jelaslah kiranya bahwa asas konsensualisme itu kita simpulkan dari pasal 1320
dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lajimnya
disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau
dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel
der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan
menekankan pada perkataan “ semuanya” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-oleh membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan
mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap
kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan
umum”.
Kesepakatan
berarti kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus
dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin
deketahui pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan sepakat yang
diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak
terbatas pada mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula dengan
memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik
olehpihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan
“offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Sumber :
Subekti,
1995,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung
3. Kebebasan Berkontrak
Menurut Hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan
pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan
berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik
tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Menurut hukum perjanjian
Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan
pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan
pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal
1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak
yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap.
Pasal 1320 ayat (1)
menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya
konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut
mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi
perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan
berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam pasal 1320 ayat (2)
dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi
oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut
ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak
mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang
belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai
kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri
(wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum
tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung,
melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,
dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku.
Pasal 1320 (3) menentukan
bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan
pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu
perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya,
jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Pasal 1320 ayat jo.1337
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang
menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .
Mengenai obyek perjanjian
diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai
nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.
Kemudian pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338
ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad
baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya
klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk
misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
4. PACTA SUNT SERVANDA
Pacta Sunt Servanda (aggrements
must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini
menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina
1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap
perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta
sunt Servanda
pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah
hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat.
Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi
janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut
Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak
secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu
:
- Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
- Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar