Senin, 29 Juni 2015

BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

BUMN

Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat.
Berdasarkan Undang- Undang No. 19 tahun 2003 Pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian dari Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan kegiatan utamanya adalah untuk mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.
Bentuk- bentuk BUMN itu sendiri ada 3 yaitu:
1.Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
2.Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
3.Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. 
 
 Kelebihan dan kekurangan Badan Usaha Milik Negara BUMN :
 
Kelebihan BUMN
1.       Menguasai sektor yang vital bagi kehidupan rakyat banyak
2.       Mendapat jaminan dan dukungan dari negara
3.       Permodalannya sudah pasti karena mendapat modal dari negara
4.       Kelangsungan hidup perusahaan terjamin
5.       Sebagai sumber pendapatan negara
 
Kekurangan BUMN
1.       Pengelolaan faktor-faktor produksi tidak efisien
2.       Manajemen perusahaan kurang profesional
3.       Menimbulkan monopoli atas sektor-sektor vital
4.       Pengelolaan perusahaan terhambat dengan peraturan-peraturan yang mengikat
5.       Sulit memperoleh keuntungan bahkan seringkali merugi
2.     Struktur revenue atau pendapatan BUMN
1.BUMN sebagai development agent boleh boros atas nama pembangunan, sehingga manajemen memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi.
2.BUMN memiliki strategic position atau natural monopoli,  sehingga revenue bersumber dari captive market yang jarang dimiliki oleh perusahaan lainnya.
3.     Perusahaan BUMN di Indonesia
Nama-nama perusahaan BUMN Indonesia yang bergerak di bidang Aneka Industri dan Industri Strategis yaitu : PT. Bio Farma (Persero), PT. Indofarma Tbk (Persero), PT. Kimia Farma Tbk (Persero), PT. Primissima (Persero), PT. Industri Sandang Nusantara (INSAN), PT. Garam (Persero), PT. Industri Gelas (IGLAS) (Persero), PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero), PT.  Dok dan Perkapalan Surabaya, PT. Industri Kapal Indonesia (Persero), PT PAL Indonesia, PT. Batan Teknologi, PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Industri Kereta Api (INKA) (Persero), PT. Barata Indonesia, PT. Boma Bisma Indra (BBI) (Persero), PT. Krakatau Steel (KS), PT. Dahana ( Persero ) dan PT. PINDAD.

Di bidang Energi dan pertambangan terdapat sejumlah BUMN yaitu PT. Pertamina (Persero), PT. Energy Management Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), PT. Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA) (Persero), PT. Aneka Tambang, Tbk (ANTAM), PT. Sarana Karya, PT. Timah (Persero) Tbk, PT. Semen Baturaja, PT Semen Gresik Tbk (Persero).

BUMN pengembang kawasan industri dan perumahan yaitu Perum Pembangunan Perumahan Nasional (PERUMNAS), PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN), PT. Kawasan Industri Medan (KIM) (Persero), PT. Kawasan Industri Makasar (KIMA) (Persero), PT. Kawasan Industri Wijaya Kusuma (KIW), PT. Pengembangan Daerah Industri (PDI) Pulau Batam.

Sedangkan untuk bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, penunjang pertanian dan perikanan terdapat BUMN PT. Inhutani I-V, Perum Perhutani, PT. Perkebunan Nusantara I-XIV (PTPN) (Persero), PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Perum Jasa Tirta I dan II, PT. Pertani, PT. Sang Hyang Seri (SHS) (Persero), PT. Pupuk Sriwidjaja (PUSRI) (Persero), PT. Perikanan Nusantara dan Perum Prasarana Perikanan Samudera.

Perusahaan BUMN di bidang Logistik dan Jasa Sertifikasi yaitu PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero), PT. Surveyor Indonesia, PT. Sucofindo (Persero), PT. Survai Udara Penas (Persero), PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR), Perum Bulog, PT Pos Indonesia (POSINDO), PT. Varuna Tirta Prakasya (VTP), PT. PP Berdikari (Persero), PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) (Persero), PT. Sarinah (Persero).

Perusahaan BUMN di bidang Pembiayaan, Perbankan dan Asuransi yaitu PT. Danareksa (Persero), PT. Kliring Berjangka Indonesia (Persero), Perum Pegadaian, PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) (Persero), PT. PANN Multi Finance (Persero), Perum Jamkrindo

PT. Perusahaan Pengelola Aset, PT. Bank Negara Indonesia Tbk, PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (Persero), PT. Bank Tabungan Negara, PT. Bank Mandiri Tbk (Persero), PT. Bank Ekspor Indonesia (BEI), PT. Asuransi ABRI (ASABRI), PT. Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), PT. Asuransi Jasa Indonesia (JASINDO), PT. Asuransi Jasa Raharja, PT. Asuransi Jiwasraya, PT. Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES), PT. Askrindo, PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), PT. Reasuransi Umum Indonesia (RUI) dan PT. Taspen (Persero).

BUMN Indonesia di bidang Percetakan, Penerbitan, dan Telekomunikasi yaitu PT. Balai Pustaka (BP) (Persero), Perum Percetakan Negara Indonesia (PNRI), PT. Pradnya Paramita, Perum Percetakan Uang RI (PERURI), PT. Kertas Kraft Aceh (KKA) ( Persero ), PT. Kertas Leces (Persero), PT. Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. LEN Industri (Persero)

Perum LKBN ANTARA, Perum Produksi Film Negara (PFN) dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (TELKOM).

Perusahaan BUMN di bidang Konstruksi, Prasarana Sarana Angkutan dan Pariwisata meliputi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk, PT. Brantas Abipraya (Persero), PT. Hutama Karya (HK), PT. Istaka Karya, PT. Nindya Karya (Persero), PT. Pembangunan Perumahan, PT. Wijaya Karya Tbk (Persero), PT. Waskita Karya, PT. Bina Karya, PT. Indah Karya, PT. Indra Karya, PT. Virama Karya, PT. Yodya Karya (Persero), PT. Amarta Karya, PT. Jasa Marga (Persero) Tbk, PT. Pelabuhan Indonesia I-IV (PELINDO I-IV) (Persero), PT. Angkasa Pura Id an II (AP I dan II) (Persero), PT. Pengerukan Indonesia (RUKINDO), PT. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) (Persero), PT. Pelayaran Bahtera Adhiguna, PT. Djakarta Lloyd, PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI), Perum DAMRI, PT. Kereta Api Indonesia (KAI), Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD),  PT. Hotel Indonesia Natour (HIN), PT. Bali Tourism dan Development Corporation, PT. TWC Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, PT. Garuda Indonesia (GIA) (Persero), PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Daftar Pustaka :

Kamis, 28 Mei 2015

Tugas 3 HAKI atau Hak Kekayaan Intelektual



Nama   : Reza D Ardianto
NPM    : 27213493
Kelas   : 2EB15
UNIVERSITAS GUNADARMA

Tugas3


Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian,yaitu:

1)  Hak Cipta (copyright);
2)  Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
- Paten (patent);
- Desain industri (industrial design);
- Merek (trademark);
- Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition);
- Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);
- Rahasia dagang (trade secret).

Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.

Di samping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.

UNDANG - UNDANG (UU) HKI yang berlaku saat ini.
  • UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  • UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
  • UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
  • UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
  • UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
  • UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
  • UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Hukuman bagi yang melanggar HAKI tercantum pada Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3) sebagai berikut:

Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil. Perbanyakan Ciptaan itu.

Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Sementara itu dari sisi pidana pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta dapat dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Maksimal pidana penjara selama 7 tahun dan minimal 2 tahun, sedangkan pidana dendanya maksimal Rp. 5 miliar rupiah dan minimal Rp. 150 juta rupiah
Pada Undang-Undang R.I. No.19 tahun 2002, terjadi perubahan yang cukup signifikan yang menyangkut sanksi pidana tersebut. Kalau pada Undang-Undang Hak Cipta No.12 tahun 1997 yang lalu, sanksi pidana hanya menentukan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun tanpa hukuman minimal, tapi pada Undang-Undang yang baru ini telah ditentukan hukuman minimal atau singkat 1 (satu) bulan penjara dan maksimal 7 (tujuh) tahun penjara serta denda sebesar 5 (lima) milyar rupiah.

Pasal 72
  1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 
  2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
  3. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  4. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupah).
  5. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
  6. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
  7. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
  8. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
  9. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 73
  1. Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana Hak Cipta atau Hak terkait serta alat-alat yang  digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan.
  2. Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.


Selasa, 28 April 2015

Tugas 2 Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi "Hukum Perjanjian"



Nama   : Reza D Ardianto
NPM    : 27213493
Kelas   : 2EB15
UNIVERSITAS GUNADARMA

Tugas2
 

1. Hukum Perjanjian

A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.   Perjanjian adalah sumber perikatan.

A.1.     Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
  1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  1. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.  Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
A.3.    Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
  1. Tidak melaksanakan isi perjanjian.
  2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
  3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.    Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:

a.   Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c.   Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.

d.   Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.

e.   Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

f.   Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.

g.   Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

h.   Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.

i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

j.    Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat 
kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

B.       STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.
C.        BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:

2. Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
Pengecualian “Asas Konsensual”
Ada yang dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian “riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).
Sudah jelaslah kiranya bahwa asas konsensualisme itu kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lajimnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “ semuanya” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-oleh membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin deketahui pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik olehpihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan “offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Sumber :
Subekti, 1995,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung



3. Kebebasan Berkontrak

Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak     manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak  yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. 
Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku.
Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Pasal 1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .
Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

4.  PACTA SUNT SERVANDA

Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu :
  1. Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
  2. Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.

Blogger templates

Pages

Pages - Menu

Blogger news

Blogger templates

Blogroll

Followers